DENGAN apa kita mengukur kebahagiaan? Dengan
terpenuhinya apa yang kita inginkan? Atau melihat orang lain bisa
bahagia karena kita? Bagaimana kalau... kita menikmati hidup kita apa
adanya, dan berbahagia karena masih bisa menikmati setiap detik hidup
kita dengan rasa ikhlas – tak peduli tidak punya uang, atau belum makan,
atau... tak bisa punya rumah dan mobil mewah seperti mereka? Setiap
orang punya alasan sendiri dan pilihan yang mungkin hanya dipahaminya
sendiri untuk meraih kebahagiaannya.
Kekayaan dan pangkat hanya sesuatu, yang bisa dikejar dan bisa terlepas. Dan kebahagiaan pastinya bisa juga direguk oleh mereka yang tak memiliki itu.
Kekayaan dan pangkat hanya sesuatu, yang bisa dikejar dan bisa terlepas. Dan kebahagiaan pastinya bisa juga direguk oleh mereka yang tak memiliki itu.
Di
bawah ini, adalah salah satu cerita tentang kebahagiaan. Dan sudah
pasti berbeda dengan makna bahagia yang kita pahami. Tapi kalau orang
bisa bahagia dengan caranya, apa keberatan kita? Selamat menyimak,semoga bermanfaat.
Sejak
pagi hujan mengguyur kota tanpa henti, udara yang biasanya sangat
panas, hari ini terasa sangat dingin. Di jalanan hanya sesekali mobil
yang lewat. Hari ini hari libur, dan karenanya membuat orang kota malas
untuk keluar rumah.
Di perempatan jalan, seorang anak kecil,
Budi, berlari-lari menghampiri mobil yang berhenti di lampu merah. Dia
membiarkan tubuhnya terguyur air hujan, sambil memeluk erat koran
dagangannya yang terbungkus lembaran plastik transparan.
"Koran, Bu...!" Budi menawarkan dagangannya, berusaha mengalahkan suara air hujan.
Dari
balik kaca mobil, Si Ibu menatap dengan rasa kasihan. Hatinya
tersentuh demi melihat anak sekecil itu harus berhujan-hujan untuk
menjual koran. Dikeluarkannya satu lembar duapuluh ribuan dari dompet
dan membuka kaca mobil sedikit, untuk mengulurkan lembaran uang.
"Mau
koran yang mana, Bu?" tanya Budi, riang. "Nggak usah, ini buat kamu
makan. Kalau koran, tadi pagi saya sudah baca," jawab Si Ibu.
Si
Budi kecil itu tampak terpaku, lalu diulurkannya kembali uang duapuluh
ribu yang diterimanya. "Terima kasih, Bu, saya menjual koran. Kalau
Ibu mau beli koran, silakan. Tapi kalau Ibu memberikan secara
cuma-cuma, mohon maaf, saya tidak bisa menerimanya.” Budi berkata dengan
muka penuh ketulusan.
Si Ibu terperangah dan menerima
kembali pemberiannya, raut mukanya tampak kesal. Dengan cepat
dinaikkannya kembali kaca mobil, dan menggerutu, "Sudah miskin
sombong!"
Kakinya segera menginjak pedal gas, karena lampu
sudah berganti warna hijau, meninggalkan Budi yang tercenung dengan
benak penuh tanda tanya. Suara klakson dari mobil lain menyadarkan
Budi, maka ia bergegas lari ke tepi jalan, ke emperan ruko, dan
merapatkan punggungnya ke dinding ruko tempatnya berteduh.Tangan
kecilnya sesekali mengusap mukanya yang basah. Dirapatkannya pelukannya
pada korannya, lalu memandang derai air hujan dengan tatapan merenung.
Ya Allah, hari ini belum satupun koranku yang laku...." gumamnya lemah.
Hari
terus menggelincir, beranjak sore, namun hujan belum juga reda. Budi
masih berteduh di emperan ruko, jongkok sambil memeluk koran
dagangannya, menahan dingin dan lapar yang mulai menggigit perih perut
kecilnya.
Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depannya,
pengemudinya, seorang bapak melemparkan sesuatu ke tempat sampah yang
ada di dekat tempat Budi jongkok, sambil mengomel, "Tukang gorengan
sialan! Udah gorengannya dingin, minyaknya juga nggak enak! Bikin batuk
aja!"
Budi melihat benda yang dilemparkan Bapak itu. Tas
plastik putih hampir transparan, berisi beraneka penganan gorengan. Ia
buru-buru bangun dan mendekati mobil Si Bapak.
"Maaf,
Pak, bolehkah saya mengambil makanan yang barusan Bapak buang itu,
untuk saya makan?" ujar Budi dengan wajah penuh harap.
Bapak
itu tertegun. Luar biasa betul anak kecil ini, pikirnya. Sebenarnya
bisa saja dia mengambilnya dari tong sampah tanpa harus meminta ijin.
Ia kagum. Dan itu memunculkan perasaan belas kasihan di dalam hatinya.
"Nak, Bapak bisa membelikan kamu makanan yang baru, kalau kamu mau," katanya, tulus.
"Terima
kasih, Pak, tapi sekantong gorengan itu rasanya sudah cukup buat saya.
Boleh kan, Pak?" tanya Budi sekali lagi, amat mengharap.
"Bbbooolehh..." jawab pria itu, dengan perasaan masygul.
“Terima
kasih, Pak!” Budi berlari riang menuju tempat sampah, dengan wajah
sangat bahagia dia mulai memakan gorengan itu. Sesekali dia tersenyum
melihat Si Bapak yang dari tadi masih memandanginya.
Si
Bapak memperhatikan Budi sambil termangu-mangu. Lalu, demi
memperturutkan rasa penasarannya, ia melambai pada Budi, memanggilnya
supaya mendekat. Budi mendekatinya.
"Nak, bolehkah Bapak bertanya,” katanya, “Kenapa kamu harus meminta izinku untuk mengambil makanan yang sudah aku buang itu?"
"Yaa...
karena saya melihat Bapak yang membuangnya, maka saya akan merasakan
enaknya makanan halal ini kalau saya bisa meminta izin kepada
pemiliknya, meskipun buat Bapak mungkin sudah tidak berharga, tapi bagi
saya makanan ini sangat berharga, dan saya pantas untuk meminta izin
memakannya," jawab Budi, sambil membersihkan bibirnya dari sisa minyak
goreng.
Pria itu tercenung, dalam batinnya berkata, anak ini sangat luar biasa.
"Satu
lagi, Nak, aku kasihan melihatmu. Aku lihat kamu basah dan kedinginan,
aku ingin membelikanmu makanan lain yang lebih layak, tapi kenapa kamu
menolaknya?"
Budi tersenyum dengan manis, "Maaf, Pak,
bukan maksud saya menolak rejeki dari Bapak. Buat saya, makan sekantong
gorengan hari ini, sudah lebih dari cukup. Kalau saya membuang
gorengan ini dan menerima tawaran makanan yang lain, yang menurut Bapak
lebih layak, maka sekantong gorengan ini menjadi mubazir. Basah oleh
air hujan, dan hanya akan jadi makanan tikus."
"Tapi
bukankah kamu menyia-siakan peluang untuk mendapatkan yang lebih baik
dan lebih nikmat, dengan makan di restoran, di mana aku yang akan
menraktir," ujar Sang Bapak, dengan nada agak tinggi, karena merasa
anak di depannya itu berpikir keliru.
Budi menatap wajah
Bapak di depannya dengan tatapan yang sangat teduh, "Pak... saya sudah
sangat bersyukur atas berkah sekantong gorengan hari ini. Saya lapar
dan Bapak mengizinkan saya memakannya, dan saya merasa berbahagia,
bukankah bahagia adalah bersyukur dan merasa cukup atas anugerah Allah
hari ini? Dan bukan menikmati sesuatu yang nikmat dan hebat hari ini,
tapi menimbulkan keinginan dan kedahagaan untuk mendapatkannya kembali
di kemudian hari...."
Budi berhenti berbicara sebentar,
lalu tiba-tiba diciumnya tangan Bapak itu, untuk berpamitan. Dengan
suara lirih dan tulus, Budi melanjutkan kembali, "Kalau hari ini saya
makan di restoran dan menikmati kelezatannya, dan keesokan harinya saya
menginginkannya kembali, sementara bapak tidak lagi menraktir saya,
maka saya sangat khawatir apakah saya masih bisa merasakan
kebahagiaannya...."
apak itu semakin terpesona. Dia
mengamati anak kecil di depannya itu, yang sedang sibuk merapikan
koran, dan kemudian berpamitan pergi.
"Ya Tuhan...
ternyata bukan dia yang harus dikasihani, melainkan aku... akulah yang
layak dikasihani, karena jarang bisa berdamai dengan hari ini...."
Itulah
soalnya. Jika kita meletakkan kebahagiaan di luar diri kita, maka kita
tidak akan pernah merasa bahagia. Sebetulnya kita tak memerlukan
apa-apa untuk bahagia. Karena kebahagiaan ada di dalam diri kita
sendiri. Tapi masalahnya adalah... kita seringkali mencari keluar dari
diri kita untuk menemukannya.
semoga bermanfaat...