Sabtu, 18 Januari 2014

Makna Kebahagiaan

DENGAN apa kita mengukur kebahagiaan? Dengan terpenuhinya apa yang kita inginkan? Atau melihat orang lain bisa bahagia karena kita? Bagaimana kalau... kita menikmati hidup kita apa adanya, dan berbahagia karena masih bisa menikmati setiap detik hidup kita dengan rasa ikhlas – tak peduli tidak punya uang, atau belum makan, atau... tak bisa punya rumah dan mobil mewah seperti mereka? Setiap orang punya alasan sendiri dan pilihan yang mungkin hanya dipahaminya sendiri untuk meraih kebahagiaannya.


Kekayaan dan pangkat hanya sesuatu, yang bisa dikejar dan bisa terlepas. Dan kebahagiaan pastinya bisa juga direguk oleh mereka yang tak memiliki itu.

Di bawah ini, adalah salah satu cerita tentang kebahagiaan. Dan sudah pasti berbeda dengan makna bahagia yang kita pahami. Tapi kalau orang bisa bahagia dengan caranya, apa keberatan kita? Selamat menyimak,semoga bermanfaat.


Sejak pagi hujan mengguyur kota tanpa henti, udara yang biasanya sangat panas, hari ini terasa sangat dingin. Di jalanan hanya sesekali mobil yang lewat. Hari ini hari libur, dan karenanya membuat orang kota malas untuk keluar rumah.
Di perempatan jalan, seorang anak kecil, Budi, berlari-lari menghampiri mobil yang berhenti di lampu merah. Dia membiarkan tubuhnya terguyur air hujan, sambil memeluk erat koran dagangannya yang terbungkus lembaran plastik transparan.

"Koran, Bu...!" Budi menawarkan dagangannya, berusaha mengalahkan suara air hujan.

Dari balik kaca mobil, Si Ibu menatap dengan rasa kasihan. Hatinya tersentuh demi melihat anak sekecil itu harus berhujan-hujan untuk menjual koran. Dikeluarkannya satu lembar duapuluh ribuan dari dompet dan membuka kaca mobil sedikit, untuk mengulurkan lembaran uang.

"Mau koran yang mana, Bu?" tanya Budi, riang. "Nggak usah, ini buat kamu makan. Kalau koran, tadi pagi saya sudah baca," jawab Si Ibu.

Si Budi kecil itu tampak terpaku, lalu diulurkannya kembali uang duapuluh ribu yang diterimanya. "Terima kasih, Bu, saya menjual koran. Kalau Ibu mau beli koran, silakan. Tapi kalau Ibu memberikan secara cuma-cuma, mohon maaf, saya tidak bisa menerimanya.” Budi berkata dengan muka penuh ketulusan.

Si Ibu terperangah dan menerima kembali pemberiannya, raut mukanya tampak kesal. Dengan cepat dinaikkannya kembali kaca mobil, dan menggerutu, "Sudah miskin sombong!"

Kakinya segera menginjak pedal gas, karena lampu sudah berganti warna hijau, meninggalkan Budi yang tercenung dengan benak penuh tanda tanya. Suara klakson dari mobil lain menyadarkan Budi, maka ia bergegas lari ke tepi jalan, ke emperan ruko, dan merapatkan punggungnya ke dinding ruko tempatnya berteduh.Tangan kecilnya sesekali mengusap mukanya yang basah. Dirapatkannya pelukannya pada korannya, lalu memandang derai air hujan dengan tatapan merenung.

Ya Allah, hari ini belum satupun koranku yang laku...." gumamnya lemah.

Hari terus menggelincir, beranjak sore, namun hujan belum juga reda. Budi masih berteduh di emperan ruko, jongkok sambil memeluk koran dagangannya, menahan dingin dan lapar yang mulai menggigit perih perut kecilnya.

Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depannya, pengemudinya, seorang bapak melemparkan sesuatu ke tempat sampah yang ada di dekat tempat Budi jongkok, sambil mengomel, "Tukang gorengan sialan! Udah gorengannya dingin, minyaknya juga nggak enak! Bikin batuk aja!"

Budi melihat benda yang dilemparkan Bapak itu. Tas plastik putih hampir transparan, berisi beraneka penganan gorengan. Ia buru-buru bangun dan mendekati mobil Si Bapak.

"Maaf, Pak, bolehkah saya mengambil makanan yang barusan Bapak buang itu, untuk saya makan?" ujar Budi dengan wajah penuh harap.

Bapak itu tertegun. Luar biasa betul anak kecil ini, pikirnya. Sebenarnya bisa saja dia mengambilnya dari tong sampah tanpa harus meminta ijin. Ia kagum. Dan itu memunculkan perasaan belas kasihan di dalam hatinya.

"Nak, Bapak bisa membelikan kamu makanan yang baru, kalau kamu mau," katanya, tulus.

"Terima kasih, Pak, tapi sekantong gorengan itu rasanya sudah cukup buat saya. Boleh kan, Pak?" tanya Budi sekali lagi, amat mengharap.

"Bbbooolehh..." jawab pria itu, dengan perasaan masygul.

“Terima kasih, Pak!” Budi berlari riang menuju tempat sampah, dengan wajah sangat bahagia dia mulai memakan gorengan itu. Sesekali dia tersenyum melihat Si Bapak yang dari tadi masih memandanginya.

Si Bapak memperhatikan Budi sambil termangu-mangu. Lalu, demi memperturutkan rasa penasarannya, ia melambai pada Budi, memanggilnya supaya mendekat. Budi mendekatinya.

"Nak, bolehkah Bapak bertanya,” katanya, “Kenapa kamu harus meminta izinku untuk mengambil makanan yang sudah aku buang itu?"

"Yaa... karena saya melihat Bapak yang membuangnya, maka saya akan merasakan enaknya makanan halal ini kalau saya bisa meminta izin kepada pemiliknya, meskipun buat Bapak mungkin sudah tidak berharga, tapi bagi saya makanan ini sangat berharga, dan saya pantas untuk meminta izin memakannya," jawab Budi, sambil membersihkan bibirnya dari sisa minyak goreng.

Pria itu tercenung, dalam batinnya berkata, anak ini sangat luar biasa.

"Satu lagi, Nak, aku kasihan melihatmu. Aku lihat kamu basah dan kedinginan, aku ingin membelikanmu makanan lain yang lebih layak, tapi kenapa kamu menolaknya?"

Budi tersenyum dengan manis, "Maaf, Pak, bukan maksud saya menolak rejeki dari Bapak. Buat saya, makan sekantong gorengan hari ini, sudah lebih dari cukup. Kalau saya membuang gorengan ini dan menerima tawaran makanan yang lain, yang menurut Bapak lebih layak, maka sekantong gorengan ini menjadi mubazir. Basah oleh air hujan, dan hanya akan jadi makanan tikus."

"Tapi bukankah kamu menyia-siakan peluang untuk mendapatkan yang lebih baik dan lebih nikmat, dengan makan di restoran, di mana aku yang akan menraktir," ujar Sang Bapak, dengan nada agak tinggi, karena merasa anak di depannya itu berpikir keliru.

Budi menatap wajah Bapak di depannya dengan tatapan yang sangat teduh, "Pak... saya sudah sangat bersyukur atas berkah sekantong gorengan hari ini. Saya lapar dan Bapak mengizinkan saya memakannya, dan saya merasa berbahagia, bukankah bahagia adalah bersyukur dan merasa cukup atas anugerah Allah hari ini? Dan bukan menikmati sesuatu yang nikmat dan hebat hari ini, tapi menimbulkan keinginan dan kedahagaan untuk mendapatkannya kembali di kemudian hari...."

Budi berhenti berbicara sebentar, lalu tiba-tiba diciumnya tangan Bapak itu, untuk berpamitan. Dengan suara lirih dan tulus, Budi melanjutkan kembali, "Kalau hari ini saya makan di restoran dan menikmati kelezatannya, dan keesokan harinya saya menginginkannya kembali, sementara bapak tidak lagi menraktir saya, maka saya sangat khawatir apakah saya masih bisa merasakan kebahagiaannya...."

apak itu semakin terpesona. Dia mengamati anak kecil di depannya itu, yang sedang sibuk merapikan koran, dan kemudian berpamitan pergi.

"Ya Tuhan... ternyata bukan dia yang harus dikasihani, melainkan aku... akulah yang layak dikasihani, karena jarang bisa berdamai dengan hari ini...."

Itulah soalnya. Jika kita meletakkan kebahagiaan di luar diri kita, maka kita tidak akan pernah merasa bahagia. Sebetulnya kita tak memerlukan apa-apa untuk bahagia. Karena kebahagiaan ada di dalam diri kita sendiri. Tapi masalahnya adalah... kita seringkali mencari keluar dari diri kita untuk menemukannya.

semoga bermanfaat...

Jumat, 17 Januari 2014

Tentang sebuah Novel


Hari sabtu tanggal 31 Agustus 2013 lalu, saya menyambangi sebuah toko buku di banjarbaru, ini kebiasaan saya, setiap bulan saya biasa membeli minimal satu buku, bukan sekedar tentang hobby, tapi lebih tepatnya menggali ilmu lewat buku, belajar memahami maksud yang ingin disampaikan penulis lewat bukunya. Dan pada hari itu, tanpa sengaja saya melewati rak buku-buku fiksi dan novel. Disana ada yang menggelitik hati, sebuah buku yang lumayan tebal, ternyata itu sebuah novel karangan penulis yang terlihat asing bagi saya, nama penulisnya Reza Nufa, dari sampul belakang buku tersebut terdapat berbagai komentar dari para penulis, seniman dan jurnalis . Menarik, itu kesan pertama saat saya melihat buku itu. buku tersebut berjudul HANIF, Dzikir dan pikir. tanpa berfikir panjang saya langsung membelinya bersama dua buku lainnya (sepotong hati yang baru dan berjuta rasanya karangan Tere Liye).
Tanggal 03 September saya tamat membaca buku Reza Nufa tersebut, dan komentar saya adalah :
1.  Buku itu keren dan saya sangat kagum dengan cara penulisnya menuangkan berbagai   konflik dan karakter tokoh-tokohnya, apalagi debat-debat yang dituangkan terlihat sangat cerdas, belum lagi konsep yang dibawa penulis adalah tentang agama.

2.   Hanif sebagai tokoh utama di novel itu dikisahkan sebagai mahasiwa yang kritis, cerdas, dan menangkap realitas agama yang terjadi di masa kini, dimana agama sudah diberhalakan, agama bukan lagi sebagai wadah perdamaian, tetapi wadah kebencian dan permusuhan. Kitab suci dibakar atas nama agama, dan seseorang melakukan aksi  bom bunuh diri atas nama Agama.

3. Reza Nufa apik merangkainya menjadi sebuah novel yang mengajak pembaca untuk menilai semua agama dari sisi yang objektif dan positif, mengajak pembaca untuk tidak hanya shaleh secara ritual, tapi juga shaleh secara sosial.

Dan berikut adalah salah satu Kutipan tulisan di dalam buku tersebut yang saya sukai :

           "Konon Dajjal akan muncul diakhir zaman.
Dia bermata satu dan memiliki kekuatan yang besar.
Jangan-jangan kitalah Dajjal. 
            Manusia mayoritas dari mahluk yang hidup di bumi ini,
Punya kekuatan yang besar, akan sampai pada masa di mana melihat semuanya dengan sebelah mata.

Mata Satu yang harusnya dua, simbol hilangnya keadilan dalam memperlakukan sesama makhluk, baik di hadapan pribadi maupaun hukum bersama.
.....
Mata satu yang harusnya dua, simbol semakin sempitnya cara pandang.

Mata satu yang harusnya dua, simbol hilangnya keseimbangan.

Maka benarlah, Dajjal jadi bukti datangnya hari kiamat, sebab kemanusiaan telah dibunuhnya lebih dulu".


Dan hebatnya seminggu kemudian, saya chat dengan penulisnya, seperti yang sudah saya duga, Reza Nufa adalah jelmaan sosok “hanif” itu sendiri, dia ramah, kritis, dan cerdas.  Menurut keterangannya tokoh Hanif di novel itu tidak sepenuhnya jelmaan sosoknya, tapi itu hanya bagian dari tokoh imajinasinya. Dan saya tetap tidak percaya. Hehe..
Anda penasaran  dengan novel tersebut ? dengan senang hati saya akan menjabarkan sedikit tentang kisah di novel itu.
Begini, novel itu menceritakan tentang mahasiswa di salah satu universitas islam negeri di Jakarta, mereka adalah Hanif (si tokoh utama), idam, Disti dan Dinda.
Pribadi hanif yang kritis dan cerdas, membawanya pada pemahaman-pemahaman yang objektif tentang agama, juga membawa hanif menjadi pribadi yang siap mengajak berdiskusi tentang agama kepada siapapun (termasuk ayahnya yang berfaham ideologis), keresahan hanif akan perkembangan negerinya dan dunia akibat ‘penyalahgunaan agama’ membawanya pergi meninggalkan sahabat dan orangtuanya menuju tempat-tempat baru dan asing baginya. Perjalanan-perjalanan yang menurut saya cukup seru untuk disimak (karena terdapat pesan baik yang ingin disampaikan penulisnya).
Lantas apa sebenarnya yang Hanif cari dari perjalanan itu? mengapa hanif disebut-sebut sebagai seorang “kafir bersarung” ? nah.. untuk lebih jelasnya silahkan anda membeli buku tersebut sekarang juga. Dijamin anda tidak akan rugi. Buku ini cocok semua kalangan.
Mungkin cukup sekian yang bisa saya sampaikan, (menirukan gaya bahasa Bu RT saat menutup pidatonya), hehehehe.. semoga bermanfaat ya.